Keterlibatan Susno Duadji dalam Makelar Kasus ?
Pada September 2006, rombongan anggota
DPR Komisi IV melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Sumatera
Selatan. Nah, dalam kunjungan tersebut bertemulah salah seorang
anggota DPR RI, Sarjan Taher dengan seorang pengusaha yang bergerak
dibidang pengembangan kawasan Pelabuhan Tanjung Siapi-api. Pengusaha
tersebut, pada saat itu, berposisi sebagai direktur utama pengelola
dan pengembangan kawasan Pelabuhan Tanjung Siapi-api, dan sang
pengusaha ini bernama Sofyan Rebuin.
Dalam pertemuan antara seorang koruptor
atau pengusaha dan anggota DPR RI itulah, kemudian terjadi dialog
diantara mereka yang pada gilirannya memberikan kesempatan kepada
sang pengusaha, Sofyan Rebuin untuk meminta kepada Sarjan Taher,
selaku anggota dari komisi IV DPR RI, agar komisi kehutanan dapat
memproses dan menyetujui usulan pelepasan kawasan hutan (lindung)
bakau, untuk dialihfungsikan menjadi pelabuhan pantai air talang
Tanjung Siapi-api. Tidak hanya saja meminta atau mengajukan
permohonan, namun hal itu dibarengi pula dengan janju dari sang
koperator tersebut untuk memberikan gratifikasi atau sejumlah uang
suap kepada anggota DPR RI.
Kalau orang mengistilahkan tempat basah
sebagai tempat yang dengan mudah orang dapat melakukan tindakan
koruptif, maka tidak berlebihan bahwa DPR RI, dalam hal ini adalah
Komisi IV, adalah salah satu tempat basah yang rawan terhadap
tindakan koruptif. Berangkat dari sini, rupa-rupanya beberapa anggota DPR yang bercokol di Komisi IV tersebut benar-benar memanfaatkan tempat basah tersebut. Pada Oktober 2006, Sarjan Taher dan rekan seprofesinya, Azwar Chesputra ternyata benar-benar memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan oleh Sofyan Rebuin, sang korporator yang menjanjikan sejumlah gratifikasi tersebut. Setelah pertemuan dalam kunjungan kerja di Provinsi Sumatera Selatan tersebut Sarjan Taher dan Azwar Chesputra bertemu dengan Sofyan Rebuin dan Chandra Antonio Tan (seorang korporator yang berposisi sebagai Direktur PT Chandra Tex Indo Artha) di sebuah lobi hotel Century, Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut ternyata kedua korporator, yang pada waktu itu berposisi sebagai calon investor tersebut, memberikan cek (sebagai gratifikasi) yang berisikan sejumlah uang kepada anggota DPR RI Komisi IV itu. Dan pada waktu itu Chandra Antonio Tan lah yang memberikan cek tersebut kepada anggota DPR RI tersebut, yang kebetulan pada waktu itu pula diterima oleh Azwar Chesputra. Namun, apa yang terjadi kemudian? setelah Azwar Chesputra memperhatikan besaran jumlah uang yang tercantum dalam cek tersebut, langsung Azwar Chesputra mengembalikannya kepada si korporator sang penyuap tersebut! Lho, kenapa?! Yah, karena uang tersebut menurutnya kurang dari Rp. 2,5 miliar, padahal dalam perjanjiannya si korporator tersebut akan memberikan gratifikasi sebesar Rp. 2,5 miliar!
Untuk menepati janjinya tersebut, maka pada keesokan harinya korporator-korup tersebut menemui kembali anggota DPR RI tersebut. Namun, bertemuan tersebut tidak lagi di lobi sebuah hotel, namun korporator tersebut menemui anggota DPR tersebut ditempat Sarjan Taher berkantor, kantor yang berada didalam gedung DPR RI, gedung yang katanya milik rakyat Indonesia. Dalam pertemuan tersebut diserahkanlah cek senilai Rp. 2,5 miliar dari chandra Antonio Tan kepada Azwar Chesputra. Setelah sejumlah uang tersebut diterima oleh Azwar Chesputra.Setelah sejumlah uang tersebut diterima oleh Azwar Chesputra, kemudian untuk selanjutnya dia membagi-bagikannya kepada parar anggota DPR RI Komisi IV. Yah,pada waktu itu pesta uang harampun "menyetubuhi" para anggota DPR RI tersebut.
Salah satu anggota DPR RI Komisi IV (periode 1999-2004) yang menikmati pesta uang haram itu, tersebutlah nama seorang suami dari penyanyi legendaris terkenal di negara bangsa ini. Hetty Koes Endang. Siapakah orang ini? Orang ini tidak lain adalah Yusuf Emir Faisal. Dia adalah seorang ketua komisi IV DPR RI yang berasal dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. Yusuf Emir Faisal dalam pesta uang haram ini mendapatkan jatah gratifikasi sebesar Rp. 5 Miliar.
Dalam kasus korusi yang melibatkan Yusuf Emir Faisal tersebut, sempat terjadi kehebohan. Karena Yusuf Emir Faisal, dalam pemeriksaan di KPK, mengaku bahwa ia mengalirkan/menjatahkan uang haram tersebut kepada Kyai Haji Abdurrahmah Wahid (Gus Dur), yang waktu itu berposisi sebagai tokoh penting di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebesar Rp. 300 juta. Alasan Yusuf Emir Faisal menyalurkan dana sebesar itu ditujukan untuk pengobatan penyakit yang sedang diidap oleh Gus Dur.
Merasa tidak menerimanya, kontan saja Gus Dur (alm.) pada waktu itu langsung membantahnya. Gus Dur mengatakan bahwa tidak benar apa yang diakui oleh Yusuf Emir Faisal tersebut! Menurut Gus Dur, dana pengobatan untuk dirinya sudah disiapkan oleh negara yang dialokasikan dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Tidak hanya Gus Dur yang bereaksi pada waktu itu. Reaksi tersebut juga terjadi pada Bendahara PKB, Aris Junaidi dan Putri dari Gus Dur sendiri, yakni Yenny Wahid. Aris Junaidi mengatakan bahwa ia memang menerima transfer dana sebesar Rp. 300 juta satu setengah tahun sebelum kasus korupsi yang melibatkan Yusuf Emir Faisal tersebut mencuat kepermukaan. Namun, menurut pengakuannya, dia menerima uang tersebut dari Yusuf Emir Faisal bukan dana yang berasal dari gratifikasi yang di terima Yusuf dari Chandra Antonio Tan tersebut, melainkan dana yang berasal dari tim koordinasi pemenanga. Yang memang harus di setorkan oleh Yusuf kepadanya, dan itu adalah kewajiban dari Yusuf yang pada waktu itu berkedudukan sebagai bendahara PKB, yang kini digantikan oleh Aris Junaidi. Menurut Aris Junaidi, dana yang harus disetorkan oleh Yusuf tersebut pun masih kurang. Seharusnya Yusuf menyetor Rp. 900 juta, namun dia baru menyetor Rp. 300 juta. Berati Yusuf masih harus mempertanggungjawabkan kewajibannya itu. Yah, kewajiban untuk melunasi kekurangan sebesar Rp. 600 juta tersebut.
Kisah kasus korupsi yang melibatkan para wakil rakyat di DPR-RI itu, pada gilirannya terendus oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan karena itulah maka KPK langsung melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, salah satu kewenangan dari KPK adalah melakukan penggeledahan. Nah, ketika KPK sedang melakukan penggeledahan di ruang kerja Yusuf Emir Faisal untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti dugaan keterlibatan Yusuf Emir Faisal dalam kasus korupsi tersebut, KPK secara tidak sengaja menemukan pula berkas-berkas yang berasal dari Anggoro Widjojo, seorang laki-laki yang pada saat itu berkedudukan sebagai Direktur PT Masaro Radiokom. Dan setelah KPK mempelajari berkas tersebut, ternyata informasi yang berasal dari berkas tersebut mengarah pada dugaan adanya suap atau korupsi pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan yang melibatkan Yusuf Emir Faisal dan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo.
Tentu saja untuk menguatkan dugaan korupsi, KPK tidak hanya menggeledah PT Masaro Radiokom, namun KPK juga melakukan penggeledahan terhadap Departemen Kehutanan, termasuk ruang sekretaris Jendral Kehutanan. Setelah melakukan penggeledahan di Departemen Kehutanan tersebut, kemudian pada giliran KPK memeriksa Menteri Kehutanan, yang pada saat itu dijabat oleh M.S. Kaban.
Sementara itu, salah satu anggota Komisi Kehutanan DPR Tamsil Linrung, menyerahkan dokumen ke KPK berisi dugaan korupsi kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu pada 2007 senilai Rp. 180 miliar dan laporan audit Badan Pemeriksaan Keuangan tahun 2007 tentang pembelian alat komunikasi fiktif Rp. 13 miliar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK dan berdasarkan alat-alat bukti yang telah dimiliki oleh KPK, maka pada 24 Juni 2009 Anggoro Widjojo ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu. Dia diduga menyuap Yusuf Emir Faisal senilai 60.000 dollar Singapura dan Rp. 75 juta untuk mendapatkan proyek pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu tahun 2006-2007 di Departemen Kehutanan sebesar Rp. 180 miliar.
Untuk mengorek keterangan dari Anggoro Widjojo yang diduga telah melakukan penyuapan terhadap Ketua Komisi IV DPR RI, tentunya KPK memerlukan kehadiran Anggoro Widjojo, dan untuk kepentingan itulah maka KPK melakukan pemanggilan terhadap Anggoro Widjojo, namun beberapa kali pemanggilan yang dilakukan oleh KPK tersebut tidak pernah dipenuhi oleh Anggoro Widjojo, hingga pada gilirannya KPK mendapatkan kenyataan bahwa Anggoro Widjojo telah melarikan diri keluar negeri, yakni Singapura. Menerima kenyataan tersebut, maka reaksi KPK selanjutnya adalah pada 9 Juli 2009 memasukan Anggoro Widjojo kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia. Yah, buronan KPK itu bernama Anggoro Widjojo!
Sebelum kita melanjutkan kisah kasus Anggoro Widjojo, untuk kepentingan mencari benang merah terhadap keterlibatan Susno Duadji dalam kasus korupsi ini, berikut ini penulis berusaha untuk mendeskripsikan kasus Bank gagal, Century dan kasus Antasari Azhar, di mana pada pendeskrisian inilah Susno Duadji sudah muncul dengan posisinya (yang diduga) sebagai makelar kasus.
2. Antara Centurygate dan Dugaan Keterlibatan Susno Duadji
a. Dampak Krisis Keuangan Amerika Serikat terhadap Bank bank di Indonesia
Lima tahun sebelum dunia dihebohkan oleh kehancuran bisnis properti di Amerika Serikat, seorang ekonom terkemuka dunia yang juga pemenang hadiah Nobel, Joseph E. Stihlitz pernah mengingatkan ada indikasi tidak sehat terhadap perkembangan ekonomi di negeri Paman Sam. Ia melihat akan ada masalah dengan suku bunga rendah yang diberlakukan disana, terlalu bergantungnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada bisnis properti dan pengaturan industri keuangan yang longgar. Ketiga hal itu dikhawatirkan akan menjadi pemicu kebangkrutan ekonomi negara itu, dan mungkin juga merembet ke mancanegara. Waktu pun berlalu. Apa yang dikhwatirkan Stiglitz mulai memperlihatkan indikasi yang mencemaskan. Kebangkrutan bisnis propertipun menjadi kenyataan. Pasalnya, kucuran kredit kepada warga Amerika Serikat untuk membeli properti
Dalam pertemuan tersebut ternyata kedua korporator, yang pada waktu itu berposisi sebagai calon investor tersebut, memberikan cek (sebagai gratifikasi) yang berisikan sejumlah uang kepada anggota DPR RI Komisi IV itu. Dan pada waktu itu Chandra Antonio Tan lah yang memberikan cek tersebut kepada anggota DPR RI tersebut, yang kebetulan pada waktu itu pula diterima oleh Azwar Chesputra. Namun, apa yang terjadi kemudian? setelah Azwar Chesputra memperhatikan besaran jumlah uang yang tercantum dalam cek tersebut, langsung Azwar Chesputra mengembalikannya kepada si korporator sang penyuap tersebut! Lho, kenapa?! Yah, karena uang tersebut menurutnya kurang dari Rp. 2,5 miliar, padahal dalam perjanjiannya si korporator tersebut akan memberikan gratifikasi sebesar Rp. 2,5 miliar!
Untuk menepati janjinya tersebut, maka pada keesokan harinya korporator-korup tersebut menemui kembali anggota DPR RI tersebut. Namun, bertemuan tersebut tidak lagi di lobi sebuah hotel, namun korporator tersebut menemui anggota DPR tersebut ditempat Sarjan Taher berkantor, kantor yang berada didalam gedung DPR RI, gedung yang katanya milik rakyat Indonesia. Dalam pertemuan tersebut diserahkanlah cek senilai Rp. 2,5 miliar dari chandra Antonio Tan kepada Azwar Chesputra. Setelah sejumlah uang tersebut diterima oleh Azwar Chesputra.Setelah sejumlah uang tersebut diterima oleh Azwar Chesputra, kemudian untuk selanjutnya dia membagi-bagikannya kepada parar anggota DPR RI Komisi IV. Yah,pada waktu itu pesta uang harampun "menyetubuhi" para anggota DPR RI tersebut.
Salah satu anggota DPR RI Komisi IV (periode 1999-2004) yang menikmati pesta uang haram itu, tersebutlah nama seorang suami dari penyanyi legendaris terkenal di negara bangsa ini. Hetty Koes Endang. Siapakah orang ini? Orang ini tidak lain adalah Yusuf Emir Faisal. Dia adalah seorang ketua komisi IV DPR RI yang berasal dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. Yusuf Emir Faisal dalam pesta uang haram ini mendapatkan jatah gratifikasi sebesar Rp. 5 Miliar.
Dalam kasus korusi yang melibatkan Yusuf Emir Faisal tersebut, sempat terjadi kehebohan. Karena Yusuf Emir Faisal, dalam pemeriksaan di KPK, mengaku bahwa ia mengalirkan/menjatahkan uang haram tersebut kepada Kyai Haji Abdurrahmah Wahid (Gus Dur), yang waktu itu berposisi sebagai tokoh penting di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebesar Rp. 300 juta. Alasan Yusuf Emir Faisal menyalurkan dana sebesar itu ditujukan untuk pengobatan penyakit yang sedang diidap oleh Gus Dur.
Merasa tidak menerimanya, kontan saja Gus Dur (alm.) pada waktu itu langsung membantahnya. Gus Dur mengatakan bahwa tidak benar apa yang diakui oleh Yusuf Emir Faisal tersebut! Menurut Gus Dur, dana pengobatan untuk dirinya sudah disiapkan oleh negara yang dialokasikan dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Tidak hanya Gus Dur yang bereaksi pada waktu itu. Reaksi tersebut juga terjadi pada Bendahara PKB, Aris Junaidi dan Putri dari Gus Dur sendiri, yakni Yenny Wahid. Aris Junaidi mengatakan bahwa ia memang menerima transfer dana sebesar Rp. 300 juta satu setengah tahun sebelum kasus korupsi yang melibatkan Yusuf Emir Faisal tersebut mencuat kepermukaan. Namun, menurut pengakuannya, dia menerima uang tersebut dari Yusuf Emir Faisal bukan dana yang berasal dari gratifikasi yang di terima Yusuf dari Chandra Antonio Tan tersebut, melainkan dana yang berasal dari tim koordinasi pemenanga. Yang memang harus di setorkan oleh Yusuf kepadanya, dan itu adalah kewajiban dari Yusuf yang pada waktu itu berkedudukan sebagai bendahara PKB, yang kini digantikan oleh Aris Junaidi. Menurut Aris Junaidi, dana yang harus disetorkan oleh Yusuf tersebut pun masih kurang. Seharusnya Yusuf menyetor Rp. 900 juta, namun dia baru menyetor Rp. 300 juta. Berati Yusuf masih harus mempertanggungjawabkan kewajibannya itu. Yah, kewajiban untuk melunasi kekurangan sebesar Rp. 600 juta tersebut.
Kisah kasus korupsi yang melibatkan para wakil rakyat di DPR-RI itu, pada gilirannya terendus oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan karena itulah maka KPK langsung melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, salah satu kewenangan dari KPK adalah melakukan penggeledahan. Nah, ketika KPK sedang melakukan penggeledahan di ruang kerja Yusuf Emir Faisal untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti dugaan keterlibatan Yusuf Emir Faisal dalam kasus korupsi tersebut, KPK secara tidak sengaja menemukan pula berkas-berkas yang berasal dari Anggoro Widjojo, seorang laki-laki yang pada saat itu berkedudukan sebagai Direktur PT Masaro Radiokom. Dan setelah KPK mempelajari berkas tersebut, ternyata informasi yang berasal dari berkas tersebut mengarah pada dugaan adanya suap atau korupsi pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan yang melibatkan Yusuf Emir Faisal dan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo.
Tentu saja untuk menguatkan dugaan korupsi, KPK tidak hanya menggeledah PT Masaro Radiokom, namun KPK juga melakukan penggeledahan terhadap Departemen Kehutanan, termasuk ruang sekretaris Jendral Kehutanan. Setelah melakukan penggeledahan di Departemen Kehutanan tersebut, kemudian pada giliran KPK memeriksa Menteri Kehutanan, yang pada saat itu dijabat oleh M.S. Kaban.
Sementara itu, salah satu anggota Komisi Kehutanan DPR Tamsil Linrung, menyerahkan dokumen ke KPK berisi dugaan korupsi kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu pada 2007 senilai Rp. 180 miliar dan laporan audit Badan Pemeriksaan Keuangan tahun 2007 tentang pembelian alat komunikasi fiktif Rp. 13 miliar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK dan berdasarkan alat-alat bukti yang telah dimiliki oleh KPK, maka pada 24 Juni 2009 Anggoro Widjojo ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu. Dia diduga menyuap Yusuf Emir Faisal senilai 60.000 dollar Singapura dan Rp. 75 juta untuk mendapatkan proyek pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu tahun 2006-2007 di Departemen Kehutanan sebesar Rp. 180 miliar.
Untuk mengorek keterangan dari Anggoro Widjojo yang diduga telah melakukan penyuapan terhadap Ketua Komisi IV DPR RI, tentunya KPK memerlukan kehadiran Anggoro Widjojo, dan untuk kepentingan itulah maka KPK melakukan pemanggilan terhadap Anggoro Widjojo, namun beberapa kali pemanggilan yang dilakukan oleh KPK tersebut tidak pernah dipenuhi oleh Anggoro Widjojo, hingga pada gilirannya KPK mendapatkan kenyataan bahwa Anggoro Widjojo telah melarikan diri keluar negeri, yakni Singapura. Menerima kenyataan tersebut, maka reaksi KPK selanjutnya adalah pada 9 Juli 2009 memasukan Anggoro Widjojo kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia. Yah, buronan KPK itu bernama Anggoro Widjojo!
Sebelum kita melanjutkan kisah kasus Anggoro Widjojo, untuk kepentingan mencari benang merah terhadap keterlibatan Susno Duadji dalam kasus korupsi ini, berikut ini penulis berusaha untuk mendeskripsikan kasus Bank gagal, Century dan kasus Antasari Azhar, di mana pada pendeskrisian inilah Susno Duadji sudah muncul dengan posisinya (yang diduga) sebagai makelar kasus.
2. Antara Centurygate dan Dugaan Keterlibatan Susno Duadji
a. Dampak Krisis Keuangan Amerika Serikat terhadap Bank bank di Indonesia
Lima tahun sebelum dunia dihebohkan oleh kehancuran bisnis properti di Amerika Serikat, seorang ekonom terkemuka dunia yang juga pemenang hadiah Nobel, Joseph E. Stihlitz pernah mengingatkan ada indikasi tidak sehat terhadap perkembangan ekonomi di negeri Paman Sam. Ia melihat akan ada masalah dengan suku bunga rendah yang diberlakukan disana, terlalu bergantungnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada bisnis properti dan pengaturan industri keuangan yang longgar. Ketiga hal itu dikhawatirkan akan menjadi pemicu kebangkrutan ekonomi negara itu, dan mungkin juga merembet ke mancanegara. Waktu pun berlalu. Apa yang dikhwatirkan Stiglitz mulai memperlihatkan indikasi yang mencemaskan. Kebangkrutan bisnis propertipun menjadi kenyataan. Pasalnya, kucuran kredit kepada warga Amerika Serikat untuk membeli properti
0 komentar: