close
.

Kisah Makelar Kasus Si Ratu Lobi 1

a. Ketika BLBI di Korup

   Mulanya memang krisis moneter yang menyebabkan nilai tukar rupiah terus mengempis terhadap USD pada bulan Juli 1997. Keadaan ini mengkhwatirkan banyak orang. Pelaku bisnis, yang sebelumnya banyak mengandalkan utang dari luar negeri, tentu menjadi makhluk yang paling cemas. Sebab setelah band intervensi di perlebar, nilai rupiah langsung masuk ke jurang yang semakin lebar.
   Artinya, bila band intervensi benar-benar dicabut, dapat dipastikan nilai tukar rupiah akan terjun bebas. Itulah yang diprediksi oleh pakar-pakar ekonomi semacam Managing Director Econit waktu itu Dr. Rizal Ramli, pengamat ekonomi kritis Kwik Kian Gie, dan Fuad Bawazier-mantan Dirjen pajak yang kemudian diangkat oleh soeharto menjadi Menteri Keuangan pada kabinet pembangunan VII.
      Namun, suara-suara para pakar ini tertutup oleh suara-suara lain yang lebih lantang-baik di dalam kabinet maupun di luar. Suara-suara lantang yang belakangan itu justru memberi semangat pemerintah untuk mengikuti saran dari International Monetery Fund (IMF). Mereka menganggap sudah waktunya pemerintah melepas band intervensi dan membiarkan pasar uang menentukan nilainya. Sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate), yang selama ini diterapkan dengan mendepresiasi rupiah 5%-6% per tahun, dianggap ketinggalan zaman. Kebijakan tersebut dinilai boros karena memaksa pemerintah mencairkan devisanya untuk menjaga stabilitas nilai rupiah.Sebaliknya dengan melepas band intervensi, pemerintah dapat menghemat devisa. Itu alasan pertama, alasan kedua, fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat, tidak akan mungkin roboh oleh badai moneter seperti yang menimpa Korea dan Thailand yang nilai mata uangnya mengempis 40% lebih setelah band intervensi di lepas. Ketiga, Indonesia masih cukup cadangan devisa diatas USD 21 Miliar, cukup besar untuk menjaga stabilitas moneter.
     Begitulah pemerintah Indonesia dibawah Soeharto kemudian mencabut band intervensi, dan membiarkan rupiah terjun bebas dipasar uang yang penuh dengan spekulan. Maka, tiba-tiba fundamental ekonomi yang dianggap kuat itu bobol dan dunia usaha pun terhempas. Seiring mengempisnya nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, terutama USD, nilai utang pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta nasional menggelembung hebat. Perusahaan-perusahaan tidak mampu membayar utang yang membengkak sampai 500% akibat mengempisnya nilai rupiah sebesar itu. Hal ini pada gilirannya menyeret perbankan di Indonesia ikut masuk ke jurang. Yah, siapa yang bisa membayar utang yang tiba-tiba meningkat 5 kali lipat saat jatuh tempo. Artinya, bila sebelum krisis 6 atau 7 tahun lalu mereka meminjam USD 2.000/USD, maka saat jatuh tempo mereka harus membayar 5 kali lipat atau Rp. 1 Triliun. Bagaimana caranya? Dengan keuntungan 100% pun tidak akan bisa di bayar, apalagi, kalau cuma 20%. Di sisi lain, harga bahan baku yang mestinya diimpor juga meningkat 5 kali lipat, sedang harga tidak mungkin bisa dinaikan 5 kali lipat pula. Artinya, perusahaan-perusahaan yang kekenyangan berutang dolar dan penghasilannya dalam rupiah, dapat dipastikan langsung megap-megap tidak bisa bernapas.
      Dengan pemerintah melepaskan sistem kurs mengambang terkendali tersebut, masyarakatpun panik, dan lalu berbelanja dolar dalam jumlah yang besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
     Sementara Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu dimasyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
      Pada 3 September 1997 sidang kabinet pun di gelar. Sidang kabinet terbatas bidang ekonomi, keuangan, dan pembangunan serta produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh presiden Soeharto. Hasil pertemuan, pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang sakit akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Setelah digelarnya rapat kabinet tersebut pada 1 November 1997, 16 bank dilikuidasi.
       Pada 27 Desember 1997 Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus. Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M. Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono.Isinya, presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.
        BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp. 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp. 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp. 103 triliun. Adapun penerimaan terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp. 37,039 triliun, BCA Rp. 26,596 triliun, Danamon Rp. 23,046 triliun, dan BUN Rp. 12,067 triliun.
     Pada 4 Juni 1998 Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima didunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai USD 1,2 miliar (sekitar Rp. 18 triliun pada kurs Rp. 14 ribu waktu itu).
Pada 21 Agustus 1998 Pemerintah memberikan tengat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
    Pada 21 september 1998 Tenggat berlaku begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tidak terdengar.
      Pada 26 September 1998 Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.
    Pada 27 September 1998 Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.
    Pada 18 Oktober 1998 Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun.
    Pada 10 November 1998 Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO (bank takeover) dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp. 111,29 triliun.
   Pada 8 Januari 1999 pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp. 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
    Pada 6 Februari 1999 BI dan Menteri keuangan membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp. 144,53 triliun.
Pada 8 Februari 1999 Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.
     Pada 13 Februari 1999 Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank.
     Pada 19 Februari 1999 ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para Bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp. 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
     Pada 13 Maret 1999 Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank.
     Pada 14 maret 1999 Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah.
    Pada 17 Mei 1999 Undang-undang No. 23.1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani presiden Habibie. Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK dan direksi BI tidak dapat diganti oleh siapapun.
    Pada 1 September – 7 Desember 1999 BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp. 75 triliun, sedangkan Rp. 89 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.
Pada 28 Desember 1999 Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.
    Desember 1999 BPK telah menyelesaikan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp. 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaannya tidak dapat di pertanggungjawabkan.
    Pada 5 Januari 2000 Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI sebesar Rp. 144,5 triliun plus Rp. 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp. 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November 1997 – Januari 1998.
    Pada 10 Januari 2000 bocoran hasil audit KPMG yang di tunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar dikalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp. 80,25 triliun.
   Pada 29 Januari 2000 audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp. 144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggungjawabkan. Tersangka dalam kasus cessei Bank Bali.
   Pada 21 Juni 2000 Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, dtitahan kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka.
    Pada 9 Oktober 2000 Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak 1991 hingga 1996. Jadi tidak benar bahwa BI hanya bertanggungjawab saat krisis saja.
     Pada 18 Oktober 2000 IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI hanya sebesar RP 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK,”Kata anggota dewan.
    Pada 26 Oktober 2000 Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligator agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.
   Pada 1 November 2000 DPR, Pemerintah ban BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan.
    Pada Awal November 2000 sumber di BI menyatakan,tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997 – 29 Januari 1999, bukan sebelum & Sesudahnya.
    Pada 2 November 2000 BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.
    Pada 17 November 2000 Pukul 16.30,pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang epemerintah dan DPR.Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetakan. Berdasarkan kesepkatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban pemerintah.
     Pada 3 Januari 2001 dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G.Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan berkait an dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana BLBI.oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5 triliun.Pada 10 Maret 2001 pemilik BUN Kaharudin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.Pada 22 Maret 2001 Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan
    Pada 9 April 2001 Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang berstatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung.Selain Syamsul, David Nusawijaya(Sertivia) dan Samandikun Hartono(Bank Modern) juga dicekal.
     Pada 29 Maret 2001 Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri(Jusup Kartadibrata), Presiden Bank Aspac (Setiawan Harjono).
     Pada 2 April 2001 Pelaksanaan program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No.1036/BPPN/0401 tahun 2001.
    Pada 30 April 2001 Kjagung David G, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu, Kejagung juga mencekal 8 pejabat Bank Dewa Rutji selama 1 tahun.
     Pada 2 Mei 2001 Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI(Samandikun Hartono dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.
    Pada 19 Juni 2001 Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 583,4 miliar.
    Pada 21 Juni Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejagung.
   Pada 31 Mei 2002 Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim, dan Sudono Salim untuk memenuhi kewajiban- kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya,namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran,atau kelalaian atau cedera janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibanny dalam MSAA yang berpotensi merugikan BPPN.
    Pada sampai 2004, pemerintah Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan surat keterangan lunas(SKL) kepada 5 obligor MSAA dan 17 obligor PKPS APU padahal mereka belum lunas membayar utang mereka.
   Pada 11 Januari 2007, dua petinggi Salim Grup(Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan asset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik, dan mesin-mesin di perusahaan gula sugar Grup.
    Pada 19 Februari 2007 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah,pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APUplus denda. “:Kami tetap akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka( delapan obligor BLBI,red ) default.Tagihan kepada mereka adalah Rp 9,3 triliun,” tegas. Ke delapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy(Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian),Lidia Muchtar (Bank Tamara),Marimutu Sinivasan(Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai (Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus anwar (Bank Pelita dan istimarat). 
   Pada 18 September 2007 sejumlah anggota DPR mengajukan hak interpelasi mengenai BLBI kepada pimpinan DPR.
       Pada 4 Desember 2007 Rapat Paripurna DPR menyetujui hak interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul.
    Pada 28 Januari 2008 DPR RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan keterangan di depan rapat Paripurna DPR berkaitan hak interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI.
     Pada 29 Januari 2008 Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa didepan gedung DPR. Mereka curiga adanya anggota DPR yang menjadi backing para obligor BLBI.
      Pada 12 Februari 2008 pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono Menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI didepan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang siding. Pada awalnya, rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan ketidak hadiran SBY dan lembaran jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja.
     Pada 29 Februari 2008 Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika asset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hokum yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman.
     Pada 2 Maret 2008 Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Sjamsul Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita uang sebesar USD 660 ribu atau sekitar Rp. 6 miliar. Uang ini diduga sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga Anthony Salim.
     Pada 2 Maret 2008 wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka dikalangan anggota DPR menyusul terungkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.
     Pada 8 Maret 2008 Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita. Mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus BLBI telah masuk rana pidana karena obligor yang tidak membayar menyebabkan Negara rugi. Selain itu, ada unsure penipuan didalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangya. Saran ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang member wewenang KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan polisi atau jaksa.
    Pada 10 Maret 2008 usulam hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hokum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejgung menghentikan penyelidilikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu. “Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan menggunakan hak angket.” ujar Dradjad Wibowo, Anggota DPR dari Fraksi PAN.
     Pada 13 Maret 2008 empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo, Abdullah Azwar Anas, dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draf hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR. Draf tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar diruang kerjanya. Sebanyak 55 anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.
    Pada 6 Mei 2008 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim. Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding.

 Bersambung >>

0 komentar:

Copyright © 2014 Design By Fatrin BudimanNusantara Indo.